Sate Susu Khas Kampung Jawa
Sate susu disebut menu perekat persatuan dan toleransi antarwarga dan umat beragama di Bali. Menu ini hanya ditemukan sekali setahun, yaitu bulan Ramadhan. Semua orang dari berbagai suku, etnis, dan agama, terutama Muslim dan non-Muslim yang berdomisili di Denpasar dan sekitarnya sangat menyukainya.
Bude Karni (52 tahun), demikian panggilannya adalah keturunan kedua yang merintis usaha sate susu di Kampung Jawa. Lebih dari setengah abad keluarganya sudah berjualan sate susu.
"Menu ini populer dan banyak dijual di Kampung Jawa," katanya.
Wanita berdarah Jawa dan Makassar ini bercerita dulu kantong susu sapi sering dibuang percuma. Orang hanya mengambil daging, iga, tulang, lidah, atau jeroan sapi. Keluarga Bude Karni terpikir untuk membuat menu baru memanfaatkan bagian dari kantong susu sapi ini.
"Muncul lah ide dibuat sate sebab orang-orang menyukai berbagai varian sate dan keuntungannya juga lumayan," katanya.
Kulit dari kantong susu dipilih bagian bersih, tak ada lemak, juga kotoran, kemudian direbus sampai empuk selama dua jam. Daging sate kemudian dipotong-potong, ditusuk, kemudian dibakar seperti sate pada umumnya.
Bumbu kuah yang digunakan, antara lain bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, kunyit, jahe, ketumbar, garam, gula pasir, dan sedikit terasi. Bumbu-bumbu tersebut dihaluskan, lalu digoreng, diberi tepung beras, dan santan. Sebagian pelanggan menyebut kuah sate susu hampir sama dengan kuah sate padang, hanya saja rempah-rempah sate padang lebih beraroma kuat.
Satu kilogram kantong susu sapi bisa diolah menjadi 100 tusuk sate. Setiap tusuknya dihargai dua ribu rupiah. Bude Karni setidaknya mengolah dua hingga tiga kilogram kantong sapi setiap hari.
Dulu ia hanya menjual sate susu Rp 500 per tusuk. Seiring meningkatkan permintaan dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, harga jual sate susu pun perlahan naik menjadi Rp 1.500 per tusuk di hari biasa, dan dua ribu rupiah khusus Ramadhan.
Kenaikan harga daging sapi juga tak berpengaruh pada ketersediaan sate susu sepanjang bulan suci ini. Pembelinya pun tetap ramai.
Sate susu sulit dijumpai di luar Ramadhan sebab stok kantong susu sapi terbatas. Bude Karni bisa dibilang satu-satunya penjual sate susu di Denpasar yang membuka warungnya setiap hari di Kampung Jawa.
Pembeli sate susu Bude Karni berasal dari berbagai wilayah di Denpasar, seperti Monang-Maning, Dalung, Sesetan, Pemogan, hingga dari luar Denpasar, seperti Nusa Dua, dan Jimbaran. Warga Jakarta yang tengah berada di Bali juga pernah membeli sate susu Bude Karni hingga Rp 100 ribu.
Selain sate susu, Bude Karni juga menjual jenis sate dan menu lainnya, seperti sate babad, sate daging, sate usus sapi dan ayam, sate sumsum, sayur urap, kue ulo, lumpia, hingga soto babad. Penjual sate susu hanya ada di Kampung Jawa, tepatnya berdampingan dengan Masjid Baiturrahman, salah satu masjid terbesar di Kota Denpasar, atau sebelum Kompleks Pemakaman Wanasari, Denpasar Barat.
Pifzi (32 tahun) adalah salah satu pelanggan setia Bude Karni. Warga Monang-Maning ini selalu mencari sate susu di bulan puasa juga di hari biasa, sebab Bude Karni satu-satunya pedagang sate susu yang rutin berjualan setiap hari.
"Rasanya 'nyanggel' (enak atau legit) dan gampang dikunyah. Jadi, anak-anak sampai nenek-nenek pun suka," katanya.
Gusti Ayu (26), warga Bali ini tak mau ketinggalan mencicipi sate susu Kampung Jawa. Meski tidak berpuasa, perempuan yang bekerja di salah satu hotel mewah daerah Sanur ini menyempatkan diri membeli dua porsi sate susu untuk dibawa pulang.
"Rasanya beda dari daging. Bumbunya juga beda," kata Gusti Ayu.
Penduduk Bali menyebut Muslim pendatang atau warga Bali yang beragama Islam sebagai 'Nyama Selam' yang berarti Saudara Islam. Umat Muslim sebaliknya menyebut warga Hindu dengan 'Nyama Bali' atau 'Semeton Bali' yang berarti Saudara Bali. Hubungan kekerabatan antara leluhur 'Nyama Slam' dan 'Nyama Bali' di berbagai daerah di Pulau Dewata terjalin dalam silaturahmi nan erat.
Keterangan Foto: Bude Karni yang pakai baju hitam putih