Ornamen Bali di Masjid Al Hikmah
Masjid Al Hiimah yang terletak di Jalan Soka, Kesiman, Denpasar mengusung konsep akulturasi budaya. Sepintas orang-orang akan sulit membedakan bangunan masjid ini dengan bangunan-bangunan berarsitektur Bali lainnya.
Ya, Al Hikmah satu-satunya masjid dengan ukiran dan gapura khas Bali yang melekat sebagai ornamen penunjang. Gerbang dan pagarnya berhiaskan batu paras hitam dengan ornamen ceplok bunga, kepala Naga Banda, dan ukiran khas Bali lainnya. Pengunjung yang masuk ke dalam masjid akan melihat ukiran kayu khas Bali menghiasi sebagian besar interior, khususnya jendela dan pintu.
Masjid Al Hikmah didirikan seorang sesepuh Muslim Bali, Abdul Sumarno sekitar 1978. Niat awalnya memfasilitasi ibadah umat Muslim yang berkisar 20 persen saja di wilayah Kesiman.
Biaya pembangunan masjid dilakukan swadaya dan terus berkembang seiring bertambahnya jamaah. Pada 1995, seorang jamaah, Bapak Narso memugar masjid seluas delapan are tersebut.
Bapak Narso memadukan ukiran khas Bali dan Jawa dalam bentuk gapura. Prinsip "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" melekat di masjid ini. Pembangunan tak hanya dikerjakan jamaah dan masyarakat pendatang, namun warga asli Kesiman, salah satunya seniman Kesiman dalam pengerjaan ukirannya.
Selain fungsinya sebagai tempat ibadah, Masjid Al Hikmah juga berfungsi pendidikan, yaitu tempat belajar mengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pelayanan umat, dan pengajian rutin. Masjid ini sekarang bisa menampung hingga 1.500 jamaah.
Harmonisasi tak sekadar melekat pada arsitektur bangunan, namun juga kehidupan masyarakat. Setiap ada kegiatan ibadah, seperti shalat Jumat, atau peringatan hari besar keagamaan, petugas pengaman desa adat atau pecalang yang merupakan Hindu Bali ikut mengamankan area masjid.
Pemerintah Kota Denpasar dan jajajarannya juga pernah menghadiri acara buka puasa bersama di masjid ini. Ketua Masjid Al Hikmah, Muhamad Suwarno mengatakan hubungan harmonis umat Muslim dan Hindu di Denpasar terus terjaga. Ragam kegiatan dilakukan bersama, seperti Jumpa Berlian, di mana seluruh masyarakat bergabung membersihkan lingkungan bersama.
"Rasa menyama braya yang berkembang di Bali dapat kita ciptakan dalam berbagai kegiatan sebagai cerminan budaya lokal," katanya.