Akulturasi Budaya Puri Satria


Dua buah bangunan peninggalan Belanda berdiri kokoh di Puri Satria yang dulunya merupakan kerajaan penguasa Badung. Dan kedua bangunan ini pula yang menjadikan Puri Satria memiliki khas sebagai peninggalan kerajaan lainnya di Bali.  

Ketika kerajaan di Bali cenderung menonjolkan arsitektur khas undagi (panggilan pemahat asal Bali) dengan ukiran dan patung-patung berkarakter gaya Bali, Puri Satria justru memiliki akulturasi budaya. Arsitektur Belanda dengan Bali hadir berdampingan pada istana yang berlokasi di jalan Veteran Nomor 62 Denpasar ini. 

Dua buah bangunan yang menggunakan arsitektur gaya Belanda, yakni wantilan atau pendopo dan pintu gerbang (Kori) Agung yang berada di salah satu peleban atau zona ruangnya. Wantilan ini menjadi satu dengan bangunan bekas Kantor Pemerintahan Tingkat II Badung saat pendudukan Belanda. Sementara, Kori Agung merupakan pintu utama atau pintu gerbang memasuki peleban. 

Kehadiran aristektur tersebut di Puri Satria erat kaitannya dengan peristiwa Perang Puputan. Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa Perang Puputan 1906 telah menjadikan Belanda menguasai wilayah Bali, tidak terkecuali Puri Satria. Putra Mahkota Puri Satria,  adalah I Gusti Alit Ngurah Pemecutan yang masih anak-anak pun ditangkap, kemudian diasingkan ke Cakranegara, Lombok. 

Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya pada 1 Oktober 1917, Belanda mengembalikan Putra Raja ini ke kerajaan. Saat itu pula, Putra Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan resmi sebagai perwakilan pemerintahan Belanda. Lalu, Puri Satria menjadi kantor pemerintahannya. Pengangkatan ini juga dilakukan bersamaan dengan raja-raja pada setiap kabupaten di Bali. 

Sejak dikuasai Belanda, akulturasi budaya pun mulai terjadi, tidak hanya pada pemukiman, sekolah, tetapi juga di Puri Satria. Pada 1927, Belanda melakukan pembangunan Puri Satria dilakukan dengan membangun kantor lengkap dengan wantilan serta Kori Agung. Bangunan bergaya Belanda tersebut hingga saat ini masih ada. 

Sejak saat itu pula, Denpasar terus berkembang semakin masif. Hingga, beberapa seniman luar negeri mendatangi kota ini, seperti Charlie Chaplin, Margaret Mead, dan Le Mayeur. Kehadiran mereka pun secara tidak langsung mempromosikan pariwisata Denpasar, juga Bali.  Kehadiran puri juga digunakan sebagai pusat kegiatan sosial, budaya, dan spiritual. Sanggar tari pun disediakan di dalam Puri untuk mengajar anak-anak dengan biaya gratis. Tariannya seperti Legong Keraton yang juga dilombakan setiap tahunnya.

Jelajahi yuk, arsitekturnya...


Komentar

Tambah Komentar
0 Comment

Sign In

;